Kamis, 03 September 2009

AADC (Ada Apa dengan Century)?

KOMPAS.com - Selama sembilan bulan sejak Bank Century diputuskan diselamatkan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada 21 November 2008, praktis tidak banyak pihak yang menggugat langkah tersebut. Selama masa itu, semua orang masih menilai tindakan KSSK tepat demi menyelamatkan perekonomian.

Sikap adem-ayem ini berubah drastis tatkala dana penyelamatan Bank Century yang mencapai Rp 6,76 triliun dibeberkan kepada publik. Semua orang terperangah karena dana itu begitu besar. Bermula dari sinilah, berbagai gugatan yang sebelumnya tak pernah ada simultan bermunculan. Mulai dari alasan dan kepentingan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memutuskan penyelamatan, keabsahan payung hukumnya, ketidaktransparan proses penyehatan, kelalaian Bank Indonesia, hingga pembengkakan suntikan dana.

Terlepas dari memang diperlukannya audit investigasi ada tidaknya penyelewengan dalam penyelamatan Century, hiruk-pikuk dan polemik Century sebenarnya tidak perlu terjadi jika negara ini memiliki perangkat hukum yang lebih baik, terkait dengan UU Perbankan, UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), dan UU Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).

Dengan demikian, persoalan Century, mulai dari saat berada dalam penangan BI, saat KSSK memutuskan penyelamatan, hingga proses penyehatan oleh LPS, niscaya tak akan menjadi polemik berkepanjangan. Saat berada dalam penanganan BI, permasalahan Century sebenarnya bisa saja diselesaikan jika BI lebih tegas dan cepat dalam bertindak. Persoalan Century muncul bukan karena pengawasan BI lemah, melainkan karena kegamangan BI untuk memberikan hukuman.

Saat menangani Century, BI mengetahui semua permasalahan yang membelit bank tersebut dan juga telah meresponsnya dengan sejumlah tindakan pengawasan. Pengawas BI misalnya menemukan pemasalahan surat-surat berharga (SSB) valas sebesar 203 juta dollar AS yang tidak memiliki peringkat dan berbunga rendah. BI telah mengambil sejumlah tindakan pengawasan, seperti menginstruksikan pencairan SSB valas dan meminta pemegang saham menambah modal.

Terlepas dari ada tidaknya penyelewengan selama menangani Century, ketidaktegasan BI untuk menghukum, bahkan menutup Century, tidak terlepas dari kurangnya kewenangan BI seperti diatur dalam Pasal 37 UU Perbankan. Kewenangan BI dalam UU tersebut sangat lemah, tidak ada unsur memaksa dan tindakan yang diambil sangat terbatas sehingga membuat pengawas bank gamang. Terlebih lagi, dalam beberapa kasus perbankan yang masuk pengadilan, BI kerap dikalahkan. Untuk mengatasi persoalan ini, UU Perbankan harus segera direvisi.

Polemik Century perlu diselamatkan atau tidak sebenarnya juga tidak akan muncul jika Indonesia memiliki UU JPSK. Gugatan terhadap penyelamatan Century kembali muncul karena pemerintah hanya menggunakan perppu yang belakangan ditolak DPR. Dengan keberadaan UU JPSK, penanganan krisis bisa dilakukan secara lebih akuntabel. Tanpa adanya UU JPSK, keputusan yang diambil saat krisis besar kemungkinan akan dipermasalahkan lagi di kemudian hari. Padahal, keputusan yang diambil saat krisis tidak bisa diukur dengan kondisi saat ini yang sudah normal. Saat ini pembahasan RUU JPSK masih berlangsung di DPR.

Pembengkakan suntikan modal oleh LPS ke Century yang menimbulkan tanda tanya banyak orang juga bisa dihindari jika LPS diberi waktu yang lebih panjang mengaudit dan menghitung kebutuhan injeksi modal. Berdasarkan UU LPS saat ini, LPS hanya memiliki waktu satu hari untuk menyelamatkan bank (jika diputuskan sistemik) atau menutupnya. Karena itu, LPS tak mungkin mengetahui secara tepat jumlah modal yang dibutuhkan.

Untuk mengatasi persoalan ini, LPS ke depan juga harus diikutsertakan dalam pemeriksaan bank yang masuk dalam tahap pengawasan khusus sehingga LPS bisa melakukan uji tuntas terhadap bank bersangkutan. Ini akan memberikan data yang memadai untuk menghitung kebutuhan modal yang tepat jika bank tersebut akhirnya perlu diselamatkan. (M Fajar Marta)

Sumber : Kompas Online

Tidak ada komentar: